Sterilnews.com -, Jakarta – Indonesia kini semakin diperhitungkan dalam rantai pasok global kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV), salah satunya berkat kehadiran produk pengolahan nikel bernilai tinggi bernama Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Produk ini digadang-gadang menjadi bahan baku penting menuju pembuatan baterai EV dan punya nilai keekonomian yang tinggi di pasar global.
Yang menarik, secara visual, MHP ini sangat unik. Setelah melalui proses pelindian bertekanan tinggi atau High Pressure Acid Leaching (HPAL), bentuk akhir MHP terlihat sangat mirip serbuk matcha atau teh hijau bubuk—baik dari segi warna maupun teksturnya. Namun, jangan salah, ini bukan bahan minuman, melainkan bahan baku baterai masa depan.
Diproduksi Harita Nikel di Obi, Halmahera Selatan
Produk MHP ini dihasilkan oleh PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nikel) melalui fasilitas smelter HPAL di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Dalam catatannya, perusahaan ini mampu memproduksi 55.000 ton nikel sulfat dan 6.750 ton kobalt per tahun dari MHP tersebut.
"Mixed Hydroxide Precipitate itu logam-logamnya masih tercampur banyak dan diendapkan, lalu diproses lagi menjadi nikel sulfat. Tahap berikutnya adalah precursor untuk dijadikan total baterai EV," jelas Dedy Amrin, Environment and Business Improvement Manager Harita Nickel, saat ditemui di Area Tambang Harita, Jumat (13/6/2025).
Ia menambahkan bahwa bentuk MHP ini sudah sangat bernilai tinggi secara ekonomi. Bahkan, bila dijual dalam bentuk mentah pun, nilainya cukup besar karena sangat dibutuhkan untuk industri baterai EV yang tengah berkembang pesat.
Satu Langkah Lagi Menuju Baterai EV
MHP adalah salah satu bentuk hasil hilirisasi dari nikel laterit berkadar rendah, yang selama ini kurang dimanfaatkan secara optimal. Harita Nikel menjadi pelopor dalam membangun fasilitas HPAL, menjadikan Indonesia bukan hanya sebagai pengekspor bijih nikel mentah, melainkan produsen material strategis global.
"Kita hanya perlu satu tahap lagi pemurnian untuk jadi nikel sulfat dan langsung masuk ke rantai produksi baterai. Jadi, sangat ekonomis," ungkap Dedy.
Sejarah Panjang Hilirisasi Nikel Harita
Harita Nikel telah memulai penambangan nikel di Pulau Obi sejak 2010 lewat Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada 2015, mereka membangun smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) pertama dengan empat lini produksi. Setahun kemudian, mereka memulai produksi feronikel sebesar 25.000 ton per tahun.
Produksi ini terus meningkat seiring ekspansi. Pada 2022, PT Halmahera Jaya Produk (HJF)—bagian dari Harita Group—mengoperasikan delapan lini produksi baru dengan kapasitas 95.000 ton feronikel per tahun. Smelter ketiga milik PT Karunia Permai Sentosa (KPS) kini dalam tahap konstruksi dengan empat lini produksi yang mampu menghasilkan 60.000 ton nikel per tahun.
Jika digabungkan, total kapasitas produksi feronikel Harita mencapai 185.000 ton per tahun. Ini menjadikan Harita sebagai salah satu pemain kunci dalam industri hilirisasi nikel nasional.
Menurut Joseph Sinaga, Corporate Communications Superintendent Harita Nickel, perusahaan ini termasuk yang pertama merespons kebijakan larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia. Harita tidak hanya berhenti di pengolahan primer, tapi terus naik kelas dengan membangun smelter HPAL untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik.
"Harita membangun salah satu smelter feronikel pertama di Indonesia pada 2016. Kini kami juga memimpin di segmen HPAL dan MHP," ungkap Joseph.
Menuju Kedaulatan Energi & Kendaraan Listrik
Keberadaan MHP dari smelter HPAL Harita menandai kemajuan nyata dalam hilirisasi nikel yang selama ini hanya menjadi wacana. Dengan potensi Indonesia yang besar sebagai produsen nikel dunia, langkah seperti yang dilakukan Harita bisa menjadi model ideal untuk memperkuat posisi Indonesia dalam industri energi bersih dan kendaraan listrik.
Dengan kata lain, 'serbuk matcha' dari Pulau Obi ini bukan sembarang bubuk—tapi bahan utama dari revolusi transportasi masa depan.