Nasi Box, Kafe Kolonial, dan Kuliner Nagita Kisah Rasa dari Indonesia hingga Korea -->

Header Menu


Nasi Box, Kafe Kolonial, dan Kuliner Nagita Kisah Rasa dari Indonesia hingga Korea

Hilma Putri Pratama
Kamis, 10 Juli 2025

 



Sterilnews.com -, Jakarta — Dunia memang tak pernah kehabisan cerita ketika rasa menjadi bahasa universal. Di tengah hiruk pikuk gelaran Piala Presiden 2025, sebuah kejadian kecil namun hangat mencuri perhatian publik Indonesia. Bukan soal gol dramatis atau selebrasi pemain, melainkan cuitan sederhana seorang jurnalis asing yang jatuh hati pada... nasi box.


Namanya Liam Rice, jurnalis asal Inggris yang biasa meliput tim sepak bola Oxford United. Dalam salah satu unggahan di media sosialnya, Liam dengan jujur memuji nasi box yang disediakan panitia untuk tim pers. Tak hanya satu kali, ia bahkan membagikan isi kotak makan siangnya ke publik — lengkap dengan ayam goreng, sambal, tahu-tempe, dan irisan timun.


“Ini salah satu sajian makan siang terbaik yang pernah saya dapatkan dalam event olahraga,” tulisnya dalam cuitan yang langsung viral di jagat maya Indonesia.

 

Komentarnya pun dibanjiri respons warga +62. Sebagian menawarkan untuk mengirimkan rendang atau nasi padang, sebagian lain bangga karena makanan yang sering dianggap biasa itu berhasil meninggalkan kesan mendalam bagi warga asing.


Yang menarik, momen itu terjadi di saat Indonesia sedang giat mempromosikan kuliner sebagai bagian dari diplomasi budaya. Ternyata, nasi box — simbol kepraktisan, keberagaman rasa, dan keramahtamahan khas Indonesia — menjadi medium yang tak terduga dalam mengenalkan kekayaan kuliner Nusantara.


Dopamine Heritage: Warisan Rasa dalam Balutan Sejarah


Sementara itu di Depok, kisah rasa yang lain mengalir dalam suasana berbeda. Sebuah bangunan peninggalan kolonial Belanda tahun 1886 disulap menjadi tempat makan yang menggabungkan estetika warisan dengan kenikmatan modern. Nama tempat itu: Dopamine Heritage.


Kafe ini bukan sekadar tempat ngopi. Ia adalah ruang nostalgia dan eksplorasi. Interiornya mempertahankan nuansa arsitektur Eropa lama, dengan jendela besar dan tembok tinggi yang menyimpan cerita masa lalu. Namun, di balik tembok itu, menu yang ditawarkan sangat kekinian. Ada nasi goreng buntut, spaghetti rendang, hingga steak dengan sambal matah.


“Kami ingin menciptakan pengalaman makan yang tak hanya enak, tapi juga bermakna,” kata pemilik kafe, Rifqi Aditya, saat ditemui detikFood.

 

Tak heran, Dopamine Heritage langsung jadi buah bibir di kalangan pecinta kuliner dan sejarah. Banyak pengunjung datang bukan hanya untuk mencicipi makanan, tapi juga untuk berfoto di lorong-lorong tua yang terasa seperti lorong waktu. Rasanya seperti menggabungkan masa lalu dan masa kini dalam satu suapan.


Kulineran Nagita Slavina di Negeri Ginseng


Dari Depok, kisah kuliner bergeser ke Korea Selatan. Aktris dan pengusaha Nagita Slavina baru-baru ini melakukan perjalanan ke negeri ginseng untuk menonton konser BLACKPINK bertajuk “Deadline”. Namun, yang tak kalah seru dari konser itu adalah momen kulinerannya.


Nagita, yang dikenal sebagai pecinta makanan sejati, tak melewatkan kesempatan mencoba jajanan khas Korea. Di akun media sosialnya, terlihat ia menikmati milkshake segar, lalu menyusul dengan twigim — camilan gorengan ala Korea seperti tempura. Beberapa netizen berseloroh, “Di mana pun berada, tetap cari gorengan!”


Momen Nagita mencicipi jajanan kaki lima Korea sekaligus memperlihatkan bahwa makanan tetap menjadi cara terbaik mengenali budaya suatu tempat. Bagi para penggemarnya, ini juga menjadi inspirasi bahwa perjalanan bukan hanya tentang destinasi, tetapi juga tentang rasa-rasa baru yang bisa ditemui di sepanjang jalan.


Ketika Kuliner Jadi Bahasa yang Menyatukan


Kisah-kisah ini, meski datang dari latar yang berbeda — seorang jurnalis asing, sebuah kafe bersejarah, dan seorang selebritas — punya satu benang merah: kuliner sebagai pemersatu.


Nasi box yang dianggap sederhana ternyata bisa membangun jembatan budaya. Sebuah kafe tua di Depok bisa menghidupkan kembali sejarah lewat makanan. Dan perjalanan Nagita di Korea tak lepas dari pengalaman mencicipi kuliner lokal yang akrab namun eksotik.


Dalam dunia yang semakin cepat dan digital, makanan tetap menjadi elemen yang membumi. Ia mengingatkan kita pada rumah, pada asal-usul, dan pada kemungkinan baru untuk memahami satu sama lain—meski berbeda bahasa, latar, atau negara.


Rasa, seperti halnya musik dan senyuman, tak perlu diterjemahkan. Ia cukup dirasakan. Dan dari Indonesia ke Korea, dari nasi box ke twigim, cerita-cerita kuliner ini terus mengalir—menghangatkan, menyatukan, dan tentu saja, menggugah selera.


Tag Terpopuler